Nuryanta Sanggup Putus Bebas Dengan Syarat Imbalan Rp60 Miliyar Untuk Hakim Majelis


Pejabat Humas PN Jakarta Selatan, Djuyamto di Jakarta Pusat, Jumat (4/10/2024). PDIP menduga bahwa hakim Djuyamto mengubah putusan praperadilan Hasto dari seharusnya diterima menjadi tak diterima karena ada intervensi hakim MA. Hal ini disampaikan oleh politisi PDIP, Guntur Romli pada Senin (14/4/2025).

Jakarta Media Duta,- Politisi PDIP, Guntur Romli, menduga hakim Djuyamto turut mengubah putusan gugatan praperadilan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto terkait penetapan tersangka dalam kasus dugaan suap Harun Masiku, dari diterima menjadi tidak diterima.

Diketahui, Djuyamto menjadi salah satu hakim yang ditetapkan menjadi tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait dugaan suap vonis onslag atau lepas dalam kasus ekspor crude palm oil (CPO) di tiga perusahaan yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

Guntur mengatakan berubahnya putusan gugatan praperadilan Hasto oleh Djuyamto selaku hakim tunggal diduga akibat adanya intervensi dari salah satu hakim Mahkamah Agung (MA) berinisial Y.

Padahal, menurut Guntur, fakta-fakta hukum dan keterangan dari saksi serta ahli dalam rangkaian persidangan praperadilan Hasto menunjukkan bahwa seharusnya gugatan diterima.

"Kami memperoleh informasi ada dugaan intervensi seorang hakim Mahkamah Agung (MA) berinisial Y sehingga Djuyamto mengubah putusan menjadi tidak diterima."

"Informasi dugaan ini pernah saya sampaikan secara terbuka 18 Maret 2025 di sebuah acara televisi dan melalui akun X saya @GunRomli jauh sebelum Djuyamto ditangkap bersama Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta," katanya dalam keterangan tertulis, Senin (14/4/2025).

Tak cuma terkait gugatan praperadilan Hasto, Guntur memperoleh informasi bahwa Djuyamto turut memiliki jaringan pengurusan perkara di pengadilan bersama dengan hakim MA berinisial Y dan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat sekaligus salah satu tersangka kasus vonis lepas CPO, Muhammad Arif Nuryanta.

"Saya juga memperoleh informasi bahwa Djuyamto, Muhammad Arif Nuryanta dan hakim MA bernisial Y ini memiliki jaringan pengurusan perkara di pengadilan," ujarnya.

Guntur menyebut pihaknya cemas lantaran hakim MA berinisial Y yang diduga mengintervensi putusan Djuyamto dalam menolak gugatan praperadilan Hasto masih belum ditangkap.

Lebih lanjut, dia mengatakan penetapan tersangka terhadap Djuyamto memperkuat dugaan bahwa Hasto hanyalah tahanan politik dan kini tengah dikriminalisasi.

"Karena itu kami sebut Hasto adalah tahanan politik. Kasus ini bentuk nyata dari kriminalisasi dan politisasi kasus yang sudah direkayasa sebagai balas dendam politik melalui "tangan-tangan tersembunyi" di lembaga peradilan dengan bukti kasus Djuyamto," tegasnya.

Djuyamto dan 2 Hakim Terima Suap Vonis Lepas CPO, Total Nilainya Rp22,5 M

Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga hakim sebagai tersangka usai memberi vonis lepas terhadap terdakwa kasus korupsi CPO.

Ketiga hakim tersebut yaiut Agam Syarif Baharudin, hakim Ali Muhtaro, dan hakim Djuyamto.

Dirdik Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengungkapkan ketiga hakim itu bersekongkol dengan Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta; dua pengacara yaitu Marcella Santoso dan Ariyanto; serta panitera muda pada PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan.

Qohar menuturkan kasus ini berawal saat pengacara terdakwa CPO bernama Ariyanto Bakri menghubungi Wahyu sebagai panitera muda agar mau mengurus perkara kliennya.

Lantas, Wahyu menyampaikan permintaan Ariyanto itu ke Nuryanta yang ketika itu masih menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.

 Adapun permintaan Ariyanto adalah agar terdakwa diputus onslag atau lepas.

Qohar mengatakan permintaan itu pun lantas disanggupi Nuryanta tetapi dengan syarat imbalan mencapai Rp60 miliar.

Uang tersebut digunakan untuk membayar tiga majelis hakim yang bakal mengadili perkara CPO tersebut.

"Muhammad Arif Nuryanta menyetujui permintaan tersebut untuk diputus onslag, namun dengan meminta uang Rp20 miliar tersebut dikalikan tiga (hakim), sehingga totalnya Rp60 miliar," jelasnya dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Senin (14/4/2025) dini hari.

Qohar mengatakan permintaan Nuryanta itu pun disetujui Nuryanta. Lantas, Nuryanta pun menunjuk tiga orang hakim untuk memimpin persidangan kasus tersebut.

Yakni, Djuyamto sebagai ketua majelis hakim dan Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtaro sebagai hakim anggota.

Kemudian, kata Qohar, ada penyerahan uang oleh Nuryanto dan lalu diberikan ke Djuyamto dan Agam Syarif Baharudin senilai Rp4,5 miliar dalam bentuk pecahan dollar AS.

Qohar mengatakan, uang terrsebut diberikan seabgai upah pembacaan perkara.

"Setelah terbit penetapan sidang, Muhammad Arif Nuryanta memanggi DJU selaku ketua majelis, dan ASB selaku hakim anggota.Lalu, Muhammad Arif Nuryanta memberikan uang dollar yang bila dikurskan ke dalam rupiah senilai Rp4,5 miliar."

 "Di mana uang itu diberikan sebagai uang membaca berkas perkara, dan Muhammad Arif Nuryanta menyampaikan kepada dua orang tersebut agar perkara diatensi," jelas Qohar.

Setelah itu, ada lagi penyerahan uang tahap dua senilai Rp18 miliar dan diberikan ke Djuyamto agar diberikan ke dua hakim lainnya.

Adapun porsi pembagian uang tersebut yaitu Djuyamto senilai Rp6 miliar, Agam Syarif menerima Rp4,5 miliar, dan Ali Muhtaro menerima senilai Rp5 miliar.

Usai segala suap selesai dilakukan, Qohar menuturkan putusan onslag atau lepas pun terwujud.Alhasil, seluruh terdakwa kasus CPO dijatuhi vonis lepas pada 19 Maret 2025 lalu.

Akibat perbuatannya, ketiga hakim dijerat Pasal 12 Huruf C Juncto Pasal 12 Huruf B Juncto Pasal 6 Ayat 2 Juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

(Yohanes Liestyo Poerwoto)

Hakim menilai serangan itu merupakan serangan yang dekat, cepat, dan seketika. Membuat Fikri mengalami luka-luka serta mengancam keselamatan jiwanya.

 "Apabila tindakan tersebut tidak dilakukan dan senjata milik terdakwa berhasil direbut bukan tidak mungkin tim menjadi korban," kata hakim.

Jaksa mempertimbangkan menempuh upaya hukum kasasi usai vonis lepas ini. Dikutip dari SIPP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tercatat ada tiga orang hakim yang mengadili perkara pembunuhan ini.
 Duduk sebagai hakim ketua adalah Muhammad Arif Nuryanta. Kemudian sebagai anggota ada hakim Elfian dan Anry Widyo Laksono. (wan)

Posting Komentar untuk "Nuryanta Sanggup Putus Bebas Dengan Syarat Imbalan Rp60 Miliyar Untuk Hakim Majelis"