Kapuspenkum Kejagung Terkesan Merendahkan Institusinya


Jakarta Media Duta,– Jaksa Agung St Burhanuddin harus mencopot Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar yang telah menyalahgunakan posisinya dengan cara merendahkan institusinya, di mana ia menyamakan Kejagung dengan personal Febrie Adriansyah, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus).
Kantor yang dibangga-banggakan Jokowidodo di IKN ternyata  terjebak air yang cukup dalam.

Sebelumnya diberitakan, Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar menegaskan, satu anggota kejaksaan atau Adhyaksa yang diperlakukan tidak adil, sama artinya dengan menghadapi institusi Kejagung.

“Bagi kami, satu orang insan Adhyaksa yang diperlakukan tidak adil itu sama dengan (berhadapan dengan) seluruh institusi,” ujar Harli saat dimintai tanggapan soal pelaporan Jampidsus Febrie Adriansyah ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (12/3/2025).

Indonesia Police Watch (IPW) menilai penyataan Harli itu telah merendahkan Kejagung sebagai institusi negara, sehingga menjadi rendah dan selevel dengan seorang Febrie. 

“Padahal, Kejagung adalah lembaga berdasarkan norma-norma ketatanegaraan dalam bidang penegakan hukum, yang tidak setara dengan seorang Febrie Adriansyah.

 Yang sedang menjabat Jampidsus, yang punya potensi melakukan kesalahan dan bisa diproses hukum bila terbukti melakukan pelanggaran etik atau pelanggaran hukum,’ jelas Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso di Jakarta, Kamis (13/3/2025).

Tindakan Harli yang menempatkan Febri Adriansyah sama dengan lembaga Kejagung, katanya, mempertontonkan pola pikir sempit dan antikritik, bahkan telah melampaui batas karena simbol Kejagunga dalah Jaksa Agung, dan itu pun tidak sama dengan institusi kejaksaan.

“Sebab, posisi jabatan sekadar penugasan yang pasti akan berakhir, sementara institusi Kejagung akan terus berdiri selama NKRI berdiri,” paparnya.

Tindakan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi, termasuk IPW melaporkan Febrie Ardiansyah ke KPK, dinilai Sugeng adalah tindakan legal yang dilindungi undang-undang.

“Pelaporan ke KPK tersebut merupakan wujud pelaksanaan ketentuan hukum dan pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi. 

Hal ini sebagaimana diamanatkan Pasal 1 angka 4 UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK, Pasal 41 UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, dan Pasal 2 PP No 43 Tahun 2018 tentang Hak Masyarakat untuk Berperan Serta dalam Pemberantasan Tipikor,” terangnya.

Dalam Pasal 7 PP tersebut, kata Sugeng, tegas diatur bahwa peran serta masyarakat adalah dengan membuat laporan, dalam hal ini kepada KPK. “Artinya, laporan ke KPK terkait dugaan tipikor Febri Adriansyah merupakan pelaksanaan dari perundang-undangan dan merupakan proses penegakan hukum,” cetusnya.

Sehingga, lanjut Sugeng, dalam melaksanakan haknya tersebut, masyarakat yang menjadi pelapor dilindungi secara hukum. “Hal ini sebagaimana diatur secara tegas di dalam Pasal 12 PP No 43 Tahun 2018, yakni perlindungan hukum bagi masyarakat yang melaksanakan haknya untuk berperan serta dalam pemberantasan korupsi. Bahkan masyarakat dapat diberikan penghargaan berupa piagam dan premi sesuai Pasal42 UU Tipikor dan Pasal 13 PP No 43 Tahun 2018 ,” tukasnya.

Oleh sebab itu, kata Sugeng, pernyataan Kapuspenkum Kejagung terdapat frasa “satu orang insan Adhyaksa yang diperlakukan tidak adil itu sama dengan (berhadapan dengan) seluruh institusi”, secara leksikal maupun gramatikal jika dikaitkan dengan peristiwa pelaporan masyarakat kepada KPK dapat dimaknai ‘siapa pun yang melaporkan jaksa atas dugaan tindak pidana korupsi akan berhadapan dengan instansi kejaksaan’,” urainya.

“Makna secara sederhana adalah ancaman kepada siapa pun pelapor yang melaporkan dugaan tipikor, jika yang dilaporkan petinggi Kejagung,” lanjutnya.

Sebab itu, tegas Sugeng, tindakan Harli Siregar yang menyampaikan ancaman tersebut merupakan perbuatan yang merendahkan hukum dan keadilan, mengingat apa yang dilakukan masyarakat sipil adalah merupakan wujud perintah undang-undang dalam penegakan hukum di bidang tipikor.

“Pernyataan ancaman tersebut bertentangan dengan sumpah jabatan jaksa sebagaimana dimaksud dalam poin 15 Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2021 yang berbunyi,;

bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi dan akan menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan, serta senantiasa menjalankan tugas dan wewenang dalam jabatan saya ini dengan sungguh-sungguh, saksama, objektif, jujur, berani, profesional, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, gender, dan golongan tertentu, dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa dan negara’,” tuturnya.

Hingga kini, masih kata Sugeng, sumpah jabatan itu wajib dijunjung tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 8 huruf b Peraturan Kejaksaan RI Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kode Perilaku Jaksa, dan Tata Cara Pemeriksaan atas Pelanggaran Kode Etik Perilaku Jaksa tentang profesionalitas jaksa.

“Karena itu dalam kaitan statemen tersebut, Kapuspenkum tidak profesional dan melanggar sumpah jabatan serta etik,” sesalnya.

Ancaman, Intimidasi dan Pelanggaran Etik.

Seharusnya, kata Sugeng, Harli menghormati proses penegakan hukum tipikor melalui laporan Koalisi Masyarakat Sipil ke KPK.

 Namun yang terjadi sebaliknya, pelapor mendapatkan ancaman dan intimidasi dari Kapuspenkum dan jelas ia telah melanggar etik dan ketentuan hukum tersebut,” tandasnya.(Karyudi Sutajah Putra)

Posting Komentar untuk "Kapuspenkum Kejagung Terkesan Merendahkan Institusinya"