Jakarta Media Duta,- Eks Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menyatakan bahwa terdakwa kasus korupsi Timah, Harvey Moeis, tidak seharusnya mendapatkan diskon remisi penahanan karena perbuatannya termasuk kejahatan luar biasa.
Mulanya, Laode menilai pernyataan Presiden Prabowo yang menyebut Harvey harus dijatuhi hukuman 50 tahun penjara sekadar sindiran saja agar mengingatkan para hakim jatuhi hukuman maksimal bagi para pelaku korupsi.
Ini tadi 50 tahun? Enggak. Itu sebenarnya hukuman kita itu sudah tinggi banget, bahkan ada hukuman mati kalau dia mengulang (melakukan tindak pidana korupsi).
Bandingkan dengan hukum Singapura. Singapura itu yang paling tinggi 7 tahun," ujar Laode kepada awak media di Rumah Pergerakan Griya Gus Dur, Jakarta Pusat, Selasa (28/1/2025).
Yang terpenting menurut Laode, apabila Harvey divonis dengan hukuman inkrah 20 tahun penjara, dia tidak boleh mendapatkan diskon remisi penahanan.
Jadi kalau soal hukumannya, maksimum 20 tahun itu. Ini masalahnya begini sekarang: dihukum 10 tahun, baru 3 tahun dia jalani sudah keluar gara-gara remisi. Itu yang ada," jelasnya.
Laode menyayangkan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan PP Nomor 99 Tahun 2012 pada akhir Oktober 2021. Peraturan tersebut mengatur bahwa remisi bagi narapidana korupsi hanya diberikan jika mereka bersedia menjadi justice collaborator dan membayar lunas denda serta uang pengganti.
Setelah aturan tersebut dihapus, syarat remisi bagi napi korupsi kini sama dengan napi pidana lainnya. Berdasarkan Peraturan Menkumham Nomor 7 Tahun 2022, remisi dapat diberikan kepada narapidana yang berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan.
Laode menegaskan pentingnya mengembalikan aturan lama agar narapidana korupsi tidak mudah mendapatkan remisi. Ia bahkan mencurigai adanya praktik jual beli remisi.
"Itu jadi bisa dibeli remisi-remisi. Mau dapat remisi 10 hari, 1 bulan, 6 bulan. Dengar-dengar itu terjadi juga. (Jadi dikembalikan ke aturan sebelumnya narapidana korupsi tidak boleh mendapatkan remisi?) Iya, seperti itu," pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Majelis Hakim Tingkat Pertama di Pengadilan Tipikor Jakarta, Eko Aryanto menjatuhkan vonis 6 tahun 6 bulan penjara kepada Harvey Moeis, ditambah denda sebesar Rp1 miliar dengan subsider 6 bulan kurungan serta kewajiban membayar uang pengganti Rp210 miliar dengan subsider 2 tahun penjara. Vonis ini lebih ringan dibandingkan tuntutan JPU yang meminta hukuman 12 tahun penjara.
Selain Harvey, Direktur PT RBT Suparta divonis 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar dengan subsider 6 bulan kurungan serta kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp4,57 Triliun dengan subsider 6 tahun penjara. Vonis ini juga lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta hukuman 14 tahun penjara.
Direktur Pengembangan Usaha PT RBT, Reza Andriansyah, mendapat hukuman 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp750 juta dengan subsider 3 bulan. Hukuman ini juga lebih ringan dibanding tuntutan jaksa yang meminta 8 tahun penjara.
Majelis Hakim menyatakan bahwa kerugian negara akibat aktivitas penambangan ilegal di wilayah PT Timah Tbk mencapai Rp300 triliun, yang mencakup:
1. Kerugian atas kerja sama penyewaan alat pemrosesan peleburan timah sebesar Rp2,28 triliun.
2. Kerugian atas pembayaran bijih timah dari tambang ilegal sebesar Rp26,64 triliun.
3. Kerugian akibat kerusakan lingkungan sebesar Rp271,07 triliun.
Dalam surat dakwaan, jaksa memaparkan bahwa Harvey Moeis mengadakan pertemuan dengan eks Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi, eks Direktur Operasi PT Timah Alwin Albar, serta 27 pemilik smelter swasta. Pertemuan tersebut membahas permintaan bijih timah sebesar 5 persen dari kuota ekspor smelter swasta.
Bijih timah tersebut berasal dari penambangan ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah. Pertemuan itu dilakukan dengan sepengetahuan Direktur Utama PT RBT, Suparta, dan Direktur Pengembangan Usaha PT RBT, Reza Andriansyah.
Jaksa menyebut Harvey Moeis meminta empat smelter swasta—CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa—membayar biaya pengamanan sebesar 500 hingga 750 dolar AS per ton.
Biaya tersebut dicatat seolah-olah sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan atau corporate social responsibility (CSR) yang dikelola oleh Harvey atas nama PT Refined Bangka Tin.
Harvey juga didakwa menginisiasi kerja sama penyewaan alat pengolahan untuk smelter swasta yang tidak memiliki competent person (CP). Kerja sama ini dilakukan tanpa melalui studi kelayakan (feasibility study).
Selain itu, ia bersama smelter swasta menyepakati penerbitan surat perintah kerja (SPK) di wilayah IUP PT Timah guna melegalkan pembelian bijih timah dari penambangan ilegal.
Kerja sama tersebut tidak dicantumkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) PT Timah maupun RKAB smelter swasta.
Dalam perkara ini, Harvey Moeis didakwa menerima uang sebesar Rp420 miliar bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE), Helena Lim.
Dugaan tindak pidana ini menyebabkan kerugian negara hingga Rp300 triliun secara bersama-sama. Sebagian dana tersebut diduga mengalir ke sejumlah pihak, termasuk istrinya, Sandra Dewi.(*)
Posting Komentar untuk "Eks Pimpinan KPK Sesali MA Hapus PP 99/2012, Koruptor seperti Harvey Moeis Mudah Dapat Remisi"