Prof. Romli Atmasasmita
Jakarta Media Duta, - Penghitungan kerugian negara dalam kasus korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022 jadi sorotan.Sejumlah saksi ahli yang dihadirkan ke persidangan mempertanyakan dasar penghitungan dan lembaga yang berwenang menghitungnya.
Saksi ahli mengatakan lembaga yang memiliki kewenangan menghitung kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BKP).
Prof. Romli Atmasasmita, seorang ahli hukum, sekaligus juga salah satu perancang UU Tipikor, mengkritisi metode penghitungan kerugian negara yang digunakan dalam perkara tersebut.
Menurutnya sebagai saksi ahli, penghitungan kerugian negara seharusnya hanya dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
“Kerugian keuangan negara dan kerugian negara itu berbeda. Kerugian keuangan negara pasti terkait dengan APBN atau APBD, sesuai definisi dalam Undang-Undang (UU).
Sementara kerugian negara bisa berasal dari aspek lain, seperti kerusakan lingkungan.
Namun, mengukur kerugian lingkungan bukan wewenang BPK atau BPKP, melainkan oleh ahli lingkungan,” jelas Prof. Romli dalam persidangan, Senin (25/11/2024).
Adapun, Prof. Romli Atmasasmita hadir sebagai saksi ahli dalam persidangan lanjutan kasus PT Timah dengan terdakwa Tamron, Hasan tjhi, Ahmad albani, Buyung (kwan yung), selaku pihak swasta. Sidang lanjutan ini digelar PN Jakarta Pusat secara terbuka, Senin (25/11/2024).
Ia juga menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, yang menghapus istilah “dapat” dalam frasa menimbulkan kerugian negara.
MK menghapus kata "dapat" dalam perkara korupsi karena bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan ini menyatakan bahwa kerugian negara yang terjadi harus bersifat nyata dan pasti (actual loss) dan dapat dihitung oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
“Jika kerugian hanya berdasarkan perkiraan, itu tidak dapat dijadikan dasar oleh hakim dalam memutus perkara tipikor. Hakim bebas mempertimbangkan, tetapi MK menegaskan bahwa kerugian harus konkret,” tegasnya.
BPKP Tidak Berwenang Menghitung Kerugian Negara
Dalam kasus ini, penggunaan hasil penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga dinilai bermasalah.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran (Unpad) ini pun menyebut bahwa berdasarkan Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara, hanya BPK yang memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara.
“BPKP tidak memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara. Perannya hanya sebagai pengawas dan auditor internal untuk kementerian/lembaga pemerintah. Dasarnya pun hanya Peraturan Presiden. Untuk menghitung kerugian negara yang resmi, itu adalah tugas BPK,” tambahnya.
Menurutnya, laporan yang digunakan dalam kasus PT Timah terkesan dipaksakan, terlebih kasus ini menyasar pihak swasta yang nota bene hanya partner kerja dari anak usaha BUMN tersebut.
“Bahasa saya ini dipaksakan. Perbuatan melawan hukum (PMH) yang menjadi dasar pun tidak terlihat jelas. Kalau di level direksi (PT Timah) ada pelanggaran wewenang, itu masih masuk akal. Tapi kalau ke swasta, belum tentu, karena mereka memiliki perlindungan dalam kontrak perjanjian,” ujarnya.
Sorotan lain datang dari tekanan publik terhadap moral hakim dalam menangani kasus ini. Prof. Romli menilai bahwa situasi ini menjadi tantangan berat, terutama bagi lembaga lembaga hakim penindak kasus tipikor.
“Hakim sering dihadapkan pada dilema. Dibebasin salah, enggak dibebasin dosa ke atas kan. Kita lihat saja nanti masuk surga apa neraka dia,” pungkasnya.
Sementara itu, Ahli tindak pidana dan korporasi Prof Jamin Ginting mengatakan dalam kasus korupsi di PT Timah Tbk, dengan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun lebih tepat masuk ranah administrasi yang menggunakan UU Minerba dan Lingkungan Hidup, ketimbang menjeratnya dengan UU Tipikor.
“Dalam konteks penggunaan perhitungan kerugian negara menggunakan UU Lingkungan Hidup sebenarnya telah diatur sanksi administrasi dan pidananya, jadi mengapa bisa harus menggunakan undang-undang korupsi di sana," ujar Jamin Ginting di PN Tipikor Jakarta Pusat, Senin (25/11/2024).
"Karena UU 32 tentang pengelolaan lingkungan hidup tak ada satupun pasal yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi, maka perkara ini harus ditarik ke ketentuan pidana lingkungan hidup," ucapnya lagi.
"Jadi tidak ada tindak pidana korupsi dalam hal itu, kecuali jika terbukti adanya suap dalam pengurusan izin-izin atau lainnya barulah mengacu pada UU korupsi,” lanjutnya.
Dosen Universitas Pelita Harapan ini juga menilai tindakan jaksa dalam menggunakan peraturan Menteri KLHK No 7 dan UU Lingkungan Hidup dalam menghitung kerugian negara di kasus korupsi timah ini pun kurang tepat, karena dalam UU Lingkungan Hidup itu dinyatakan bahwa yang berwenang yang melakukan penyidikan adalah kepolisian dan PPNS, sehingga dalam perkara ini penyidik kejagung telah mengambil kewenangan tersebut.
“Berdasarkan ketentuan KUHAP, baik di pasal 6 maupun 7 sangat jelas disebutkan bahwa yang dimaksud penyelidik adalah Kepolisian Republik Indonesia dan yang dimaksud dengan penyidik adalah polisi dan PPNS," ucapnya.
"Jadi tidak ada disebutkan kejaksaan, seharusnya kewenangan itu adalah penyidik PPNS dan kepolisian," imbuhnya.
"Inilah kelemahan hukum kita, semua mau jadi penyidik, maka Jaksa juga mau ikut jadi penyidik,” lanjut Jamin Ginting.
"Dengan demikian, penerapan pasal tindak pidana korupsi sebenarnya tidak relevan di sini, karena yang berlaku hanyalah ketentuan dari UU Lingkungan Hidup, bukan UU Tipikor," katanya.
Menurut Jamin Ginting, penyidik Kejagung jangan hanya berfokus pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, karena ada keberadaan pasal-pasal lainnya seperti Pasal 5, 6, 7, dan 8 seolah yang juga diperlukan.
"Kita perlu melakukan koreksi terhadap hal ini. Artinya, undang-undang kita perlu dibenahi, begitu juga dengan cara penegakan hukum, agar tidak semua tindak pidana korupsi hanya dilihat dari Pasal 2 dan Pasal 3 saja, masih ada banyak pasal lain yang perlu dieksplorasi lebih jauh," tegasnya.(*)
Pada sidang sebelumnya, Ahli Hukum Administrasi Negara Bidang Hukum Lingkungan Hidup, Kartono juga menyebutkan bahwa pihak yang berhak menghitung kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Adapun hal itu diungkapkan Kartono yang pada saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi ahli dalam sidang kasus korupsi timah dengan terdakwa Harvey Moeis Cs di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Pernyataan Kartono itu bermula ketika Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto bertanya soal siapa pihak yang berwenang menghitung kerugian negara.
"Siapa sih yang berwenang untuk melakukan penghitungan kerugian negara dan juga termasuk perekonomian negara," tanya Hakim Eko, Rabu (23/10/2024).
Mendengar pertanyaan Hakim, Kartono pun menjelaskan, bahwa pihak yang berhak menilai kerugian negara dalam suatu perkara tipikor adalah pihak BPK.
"Kalau yang berwenang untuk menghitung kerugian keuangan negara sudah ada yang mulia rambunya, patokannya baik itu di Undang-Undang BPK dan Undang-Undang yang lainnya Tentu BPK," jawab Kartono.
Kartono juga menuturkan, mengenai wewenang BPK itu merujuk pada Pasal 10 Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Namun demikian berkaitan dengan mendeclare (mengumumkan) kerugian keuangan negaranya itu tentu menjadi kewenangan dari BPK sesuai dengan pasal 10 Kalau tidak salah di Undang-Undang BPK," jelas Kartono.
Kejagung Ungkap Kerugian Negara Akibat Korupsi Timah Jadi Rp 332,6 T
Diberitakan sebelumnya, kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk tahun 2015-2022 bertambah.
Bukan hanya Rp 300 triliun seperti itung-itungan sebelumnya, kerugian negara akibat kasus megaskandal korupsi ini bertambah menjadi Rp 332,6 triliun.
Potensi bertambahnya kerugian negara tersebut diungkap Kejaksaan Agung setelah menangkap Hendry Lie, satu dari 22 tersangka kasus korupsi tata niaga timah.
“Akibat perbuatan tersangka Hendry Lie bersama-sama dengan 20 tersangka lainnya yang saat ini dalam proses persidangan, negara dirugikan sebesar Rp 332,6 triliun," kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar, seperti dikutip dari Kompas TV, Selasa (19/11/2024) dini hari.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Ardiansyah mengungkapkan, kerugian negara dalam perkara ini ditaksir mencapai Rp 300 triliun.
Febrie menyebut ini sebagai real loss.“Apa yang menjadi alat bukti dan jaksa yakin bahwa ini adalah kerugian yang riil yang nanti jaksa tuntut sebagai kerugian negara,” jelasnya.
Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Investasi, Agustina Arumsari menerangkan bahwa penetapan kerugian negara akibat korupsi timah sebesar Rp 300 triliun didapat setelah berdiskusi dengan enam ahli lingkungan.
Agustina membeberkan, dari kerugian negara sebesar Rp 300 triliun, sebanyak Rp 271 triliun merupakan kerugian kerusakan lingkungan.
“Yang kemudian sampai pada kesimpulan ada kerugian keuangan negara sebesar Rp 300,003 triliun. Angka detail sampai ke digit terakhir nanti kami akan jelaskan di persidangan,” jelasnya.
Itung-itungan Guru Besar IPB Bambang Hero Saharjo
Adapun terkait kerugian negara akibat kasus korupsi timah ini sebelumnya diungkapkan oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo.
Bambang menyebut bahwa kerugian negara akibat tambang timah di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan dari tahun 2015 - 2022 sebesar Rp271 triliun.
"Kalau semua digabungkan kawasan hutan dan nonkawasan hutan total kerugian akibat kerusakan yang harus ditanggung negara adalah Rp271,06 triliun," kata Bambang saat Konferensi Pers di Gedung Kejaksaan Agung, Senin (19/2/2024) lalu.
Total Rp 271 triliun ini juga merupakan jumlah dari kerugian perekonomian akibat galian tambang di kawasan hutan dan nonhutan. Masing-masing nilainya Rp 223.366.246.027.050 dan Rp 47.703.441.991.650.
"Sampai pada kerugiannya berdasarkan Permen LH Nomor 7/2014 ini kan dibagi du ya, dari kawasa hutan dan nonhutan," ujar Bambang.
Rincian nilai kerugian perekonomian negara di masing-masing kawasan: Kerugian untuk galian yang terdapat dalam kawasan hutan:
- Biaya kerugian lingkungan (ekologis) Rp 157.832.395.501.025.
- Biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 60.276.600.800.000.
- Biaya pemulihan lingkungan Rp 5.257.249.726.025.
Kerugian untuk galian yang terdapat dalam kawasan nonhutan:
- Biaya kerugian lingkungan (ekologis) Rp 25.870.838.897.075.
- Biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 15.202.770.080.000.
- Biaya pemulihan lingkungan Rp 6.629.833.014.575.
Sebagai informasi, berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun.
Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah.
Tak hanya itu, jaksa juga mengungkapkan, kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun. Hal itu sebagaimana hasil hitungan ahli lingkungan hidup. (Valentino Verry Fahmi Ramadhan, Rahmat Fajar Nugraha)
Posting Komentar untuk "Profesor Romli Pertanyakan Kerugian Negara Rp 332,6 T Kasus Korupsi Timah"