SYL Dihukum 12 Tahun, Kasus Timah Rp271 Triliun Hanya Dibui 3 Tahun


Jakarta Media Duta,- Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memvonis Syahrul Yasin Limpo 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta  subsider empat bulan kurungan.

Hal ini disampaikan Ketua Majelis, Artha Theresia, ketika membacakan amar putusan di PT DKI Jakarta, Selasa (10/9/2024).

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Syahrul Yasin Limpo oleh karena itu dengan pidana penjara selama 12 tahun dan denda sejumlah Rp 500 juta subsider empat bulan kurungan," ucap Ketua Majelis, Artha Theresia, ketika membacakan amar putusan di PT DKI Jakarta, Selasa (10/9/2024).

SYL dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa pemerasan di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan) RI.

Selain itu, SYL turut dihukum dengan pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti sejumlah Rp44.269.777.204 dan 30 ribu dolar Amerika Serikat (AS) subsider lima tahun penjara.

Putusan ini mengakomodasi tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hanya saja, pidana penjara atas uang pengganti yang tidak dibayar lebih berat dari jaksa KPK yang sebelumnya meminta hukuman empat tahun penjara.

Perkara nomor: 46/PID.SUS-TPK/2024/PT DKI ini diperiksa dan diadili oleh Ketua Majelis, Artha Theresia dengan hakim anggota, Subachran Hardi Mulyono, Teguh Harianto, Anthon R Saragaih, dan Hotma Maya Marbun.

Majelis hakim PT DKI Jakarta menilai alasan dan pertimbangan majelis hakim pengadilan tingkat pertama telah tepat dan benar menurut hukum karena mempertimbangkan secara saksama unsur-unsur yang didakwakan.

Namun, majelis hakim PT DKI Jakarta tak sependapat dengan amar putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama terhadap SYL.

Menurut majelis, SYL sebagai menteri tidak memberikan contoh atau teladan yang baik sehingga hukuman harus diperberat dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan demi terwujudnya pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

"Pidana badan dan denda yang dijatuhkan belum memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga harus diperberat," kata hakim.

Vonis pada tingkat banding ini lebih berat daripada putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menghukum SYL dengan pidana 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp300 juta subsider empat bulan kurungan ditambah uang pengganti sejumlah Rp14.147.144.786 dan 30 ribu dolar AS subsider dua tahun penjara.

Tindak pidana pemerasan dilakukan SYL bersama-sama dengan Direktur Alat dan Mesin Pertanian nonaktif, Muhammad Hatta dan Sekretaris Jenderal nonaktif Kementan, Kasdi Subagyono yang putusan bandingnya juga akan dibacakan pada hari ini.

Profil SYL
Syahrul Yasin Limpo (SYL) lahir di Ngawing, Makassar, pada 15 Maret 1955.

Syahrul Yasin Limpo merupakan anak kedua dari pasangan H. Muh. Yasin Limpo dengan Hj. Nurhayati Yasin Limpo.SYL dikenal sebagai seorang politikus.

Sebelum tersandung kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi di lingkungan Kementerian Pertanian, SYL adalah Menteri Pertanian.

Syahrul Yasin Limpo pernah menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Selatan sejak tanggal 8 April 2008-8 April 2018.

Saat itu, SYL memenangi pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan 2007 dan 2013, bersama pasangannya Agus Arifin Nu'mang.

Sebelum menjabat sebagai Gubernur, SYL pernah menjabat sebagai Bupati di Kabupaten Gowa selama dua periode.

Kemudian, ia menjabat Wakil Gubernur selama satu periode mendampingi Amin Syam.

Adapun mengenai pendidikan SYL, ia menempuh pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Mangkura-Makassar Tahun 1967.

Ia melanjutkan pendidikan Skeolah Menengah Pertama di SMP Negeri 6 Makassar Tahun 1970.Lulus SMP, SYL melanjutkan ke SMA Katolik Cendrawasih Makassar Tahun 1973.

Selanjutnya, SYL melanjutkan pendidikan sekolah tinggi Sarjana Hukum Universitas Hasanudin (S1) Tahun 1983, Pasca Sarjana Universitas Hasanudin (S2) Tahun 1999, Pasca Sarjana Universitas Hasanudin (S2) Tahun 2004, dan Pascasarjana Universitas Hasanudin (S3) Tahun 2008.

Sementara itu, terdakwa Toni Tamsil alias Akhi divonis tiga tahun penjara dalam kasus obstruction of justice atau merintangi penyidikan dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah 2015-2022. 

Vonis terhadap Toni Tamsil dibacakan Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Pangkalpinang yang diketuai Sulistiyanto Rokhmad Budiharto, beranggota hakim Warsono dan Dewi Sulistiarini. 

Majelis hakim menyatakan terdakwa adik kandung bos besar timah Tamron alias Aon itu telah terbukti melakukan perintangan penyidikan pada perkara korupsi tata niaga komoditas timah IUP PT Timah tahun 2015-2022 yang telah mengakibatkan kerugian negara senilai Rp 271 Triliun.

Putusan tersebut membuat Komisi Yudisial (KY) angkat bicara dengan berinisiatif menurunkan tim investigasi untuk melakukan penelusuran awal terkait kasus ini.

Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata menjelaskan, perkara yang melibatkan Toni bukanlah pokok perkara tentang tindak pidana korupsi, melainkan obstruction of justice

Yang bersangkutan dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan perkara tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah di wilayah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah, Tbk tahun 2015 sampai dengan tahun 2022. 

"Ia dinilai telah mencegah dan merintangi proses penyidikan, serta memberikan keterangan tidak benar sebagai saksi dalam tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah tersebut," ujar Mukti dalam keterangan, Selasa (10/9/2024).

Sosok Toni Tamsil

Toni Tamsil atau yang akrab dipanggil Akhi merupakan pengusahan di Bangka Tengah.

Toni adalah adik kandung dari Thamron Tamsil, pemilik CV Venus Inti Perkasa (VIP) dan komisaris PT Menara Cipta Mulia (MCM).

Diketahui mereka ditangkap oleh Kejaksaan Agung dalam waktu yang berbeda.Toni ditangkap lebih dulu pada 25 Januari 2024, sementara Thamron pada Februari 2024.

Toni dijadikan tersangka oleh penyidik atas upaya menghalang-halangi proses penyidikan atau obstruction of justice.

Dilansir dari Kompas.com, perintangan tersbeut dilakukan saat penyidik kejagung hendak menyita beberapa aset alat berat yang diduga terkait dengan perkara PT Timah Tbk.Alat berat itu diantaranya berupa 53 eksavator dan dua buldoser.

Akan tetapi, alat-alat berat itu kemudian disembunyikan oleh Toni di dalam hutan dan bbengkel.Ia juga sempat mengancam akan membakar barang bukti tersebut.

Selain itu, merujuk pada detail perkara yang diunggah di laman SIPP Pengadilan Negeri (PN) Pangkal Pinang, Toni berusaha menyembunyikan barang bukti dokumen. 

Dokumen perusahaan CV VIP dan PT MCM dia sembuyikan dalam mobil yang terparkir di halaman belakang rumahnya dalam waktu lama. 

Toni juga dengan sengaja menonaktifkan ponselnya dan bersembunyi ketika penyidik akan menggeledah rumah dan Toko Mutiara miliknya. 

Bahkan, untuk menghilangkan barang bukti digital, dia juga merusak ponsel-ponselnya.

JPU belum tanggapi putusan hakim

Atas perbuatannya, kasus Toni Tamsil pun didaftarkan ke PN Pangkal Pinang pada 3 Juni 2024.

Berdasarkan putusan nomor 6/Pid.Sus-TPK/2024/PN Pgp yang dibacakan pada Kamis (29/8/2024), Toni terbukti secara sah melakukan obstruction of justice dan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Toni pun dijatuhi hukuman pidana 3 tahun penjara dan wajib membayar biaya perkara Rp 5.000.

Dalam sidang tuntutan sebelumnya pada Minggu (1/8/2024), Toni dinilai jaksa terbukti melanggar pasal yang sama dan dituntut hukuman pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan. 

Ia juga dituntut membayar denda Rp 200 juta yang jika tidak dilunasi harus diganti 3 bulan kurungan, serta biaya perkara Rp 10.000. Namun, kala itu pembelaan kuasa hukum terdakwa belum siap. 

Dilansir Kompas.id, Selasa (3/8/2024), menanggapi putusan majelis hakim, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar mengatakan, jaksa penuntut umum belum memutuskan akan mengajukan banding atau tidak.  

"Sikap jaksa penuntut umum, pikir-pikir selama 7 hari setelah putusan dibacakan sesuai hukum acara," kata JPU.

Penghitungan kerugian keuangan negara Besaran angka kerugian keuangan negara atas praktik korupsi PT Timah pun menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana penghitungan kerugian keuangan negara sehingga sampai pada nominal tersebut.

Berbicara mengenai kerugian keuangan negara perlu untuk mengetahui terlebih dahulu perihal apa saja yang dimaksud dan menjadi bagian keuangan negara.

Menurut UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, mendefinisikan keuangan negara sebagai semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara.

Sedangkan kerugian negara sebagaimana diatur dalam UU 1/2004 tentang Perbendaharan Negara adalah kekurangan uang surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai.

Sehubungan dengan penghitungan kerugian atas korupsi Timah Rp 271 T dilakukan sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

Biaya kerugian tersebut meliputi dana untuk menghidupkan fungsi tata air, pengaturan tata air, pengendalian erosi dan limpasan, pembentukan tanah, pendaur ulang unsur hara, fungsi pengurai limbah, biodiversitas (keanekaragaman hayati), sumber daya genetik, dan pelepasan karbon.

Penghitungan nominal kerugian keuangan negara tersebut telah dilakukan oleh Ahli yang dihadirkan dari Penyidik, yaitu akademisi dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, Bambang Hero Saharjo.

Menurutnya, kasus timah sepanjang 2015-2022 telah menyebabkan kerugian Rp 271 T.

Jumlah itu terdiri dari kerugian lingkungan (ekologis) Rp 157 T, kerugian ekonomi lingkungan Rp 60 T, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 5 T.

Selain itu, ada pula kerugian di luar kawasan hutan sekitar Rp 47 T.  Kasus korupsi timah ini ternyata jadi jumlah paling besar kerugian yang ditanggung oleh negara.

Sebelumnya sudah terdapat beberapa kasus mega korupsi dengan kerugian keuangan negara fantastis.

Misalnya, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kasus penyerobotan lahan negara untuk kelapa sawit, pengelolaan dana pensiun PT Asabri, dan kasus penyimpangan dana investasi PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri).

Posting Komentar untuk "SYL Dihukum 12 Tahun, Kasus Timah Rp271 Triliun Hanya Dibui 3 Tahun"