Foto para koruptor tanah pembebasan bendungan Paselloreng di Giliran Kabupaten Wajo.
Lembaga Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) menyesalkan vonis yang diberikan Pengadilan Tipikor Makassar kepada para terdakwa korupsi pembebasan lahan Bendungan Paselloreng, Kabupaten Wajo yang terbilang sangat ringan bahkan amblas jika dibandingkan dengan besaran tuntutan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Direktur ACC Sulawesi, Kadir Wokanubun mengatakan, putusan yang diberikan Pengadilan Tipikor Makassar tersebut, dinilai sangat mencederai perjuangan pemberantasan korupsi di Indonesia pada luasnya.
Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut, kata dia, bahkan sama sekali tidak mempertimbangkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di mana, sebut Kadir, pada Pasal 6 ayat 1 dalam Perma yang dimaksud, cukup tegas menyebutkan bahwa dalam hal mengadili perkara tindak pidana Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana KorupsiKorupsi.
Dimana kerugian keuangan negara atau perekonomian negara terbagi ke dalam 4 kategori yakni huruf a kategori paling berat jika kerugian keuangan dan perekonomian negaranya lebih dari Rp100 miliar, huruf b kategori berat lebih kerugian keuangan dan perekonomian negaranya lebih dari Rp25 miliar sampai dengan Rp100 miliar, huruf c kategori sedang jika kerugian keuangan dan perekonomian negaranya lebih dari Rp1 miliar sampai dengan Rp25 miliar serta huruf d kategori ringan jika kerugian keuangan dan perekonomian negaranya lebih dari Rp200 juta sampai dengan Rp1 miliar.
"Nah jika kita merujuk laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara atas kasus korupsi pembayaran ganti rugi lahan masyarakat untuk kegiatan proyek strategi nasional pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo Tahun 2021 ini, besarannya Rp75.638.790.000. sehingga Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini bisa mempertimbangkan Pasal 6 ayat 1 huruf b dalam Perma No. 1 Tahun 2020 yang dimaksud di atas," terang Kadir, Rabu (31/7/2024.
Kronologi
Dalam penyidikan kasus ini, Penyidik Pidsus Kejati Sulsel sebelumnya telah menetapkan 6 tersangka masing-masing inisial Andi Akhyar selaku Ketua Satgas B pada Kantor Pertanahan Kabupaten Wajo, Nundu selaku anggota Satgas B dari perwakilan masyarakat.
Nursiding HD selaku anggota Satgas B dari perwakilan masyarakat, Ansar selaku anggota Satgas B dari perwakilan masyarakat, Andi Jusman selaku anggota Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) dan juga diketahui menjabat sebagai Kepala Desa Paselloreng, Kecamatan Gilireng Kabupaten Wajo serta Jumadi Kadere selaku anggota Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) dan juga selaku Kepala Desa Arajang, Kecamatan Gilireng Kabupaten Wajo.
Kasus yang menjerat dan menjadikan Andi Akhyar sebagai tersangka dan sebagai orang yang turut serta atau bersama-sama dengan tersangka Nundu, Nursiding HD, Ansar, Andi Jusman dan Jumadi Kadere bermula pada tahun 2015.
Di mana saat itu Balai Besar wilayah sungai Pompengan jeneberang (BBWS) tengah melaksanakan pembangunan fisik Bendungan Paselloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo.
Adapun lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo diantaranya terdapat lahan yang masih masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Laparepa dan Lapantungo yang terletak di Desa Paselloreng dan Kabupaten Wajo yang telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai Kawasan Hutan HPT.
Selanjutnya dilakukan proses perubahan Kawasan hutan dalam rangka review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan, salah satunya untuk kepentingan Pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo.
Kemudian pada 28 Mei 2019, terbit Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesian tepatnya Nomor: SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/2019 tentang perubahan Kawasan Hutan menjadi bukan Kawasan Hutan seluas +91.337 Ha. Adapun perubahan fungsi kawasan hutan seluas +84.032 Ha dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas +1.838 HA di Provinsi Sulawesi Selatan.
Setelah mengetahui adanya Kawasan Hutan yang dikeluarkan untuk kepentingan lahan genangan Bendungan Paselloreng, maka tersangka Andi Akhyar selaku Ketua Satgas B dari BPN Kabupaten Wajo memerintahkan beberapa honorer di Kantor BPN Kabupaten Wajo untuk membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPORADIK) sebanyak 246 bidang tanah secara bersamaan pada tanggal 15 April 2021, lalu.
SPORADIK tersebut diserahkan kepada tersangka Andi Jusman selaku Kepala Desa Paselloreng untuk ditandatangani dan tersangka Jumadi Kadere selaku Kepala Desa Arajang turut menandatangani SPORADIK untuk tanah eks kawasan yang termasuk di Desa Arajang.
Adapun isi SPORADIK diperoleh dari informasi tersangka Nundu, tersangka Nursiding HD dan tersangka Ansar selaku anggota Satgas B dari Perwakilan masyarakat, yang mana isi SPORADIK yang dimasukkan tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Oleh karena 241 bidang tanah tersebut merupakan ex Kawasan Hutan yang merupakan tanah negara dan tidak dapat dikategorikan sebagai lahan/tanah garapan, maka pembayaran terhadap 241 bidang tanah dinilai telah merugikan keuangan negara berdasarkan hasil perhitungan BPKP Provinsi Sulsel.
Atas perbuatannya tersebut, para tersangka disangkakan dengan pasal Primair yakni Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP dan pasal Subsidair yakni Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP.(*)
Posting Komentar untuk "Hakim Dinilai Abaikan Perma Nomor 1 Tahun 2020"