Ada Tangis Dalam Pemeriksaan Pelanggaran Etik Hakim MK

      Jimly Asshiddiqie

Jakarta Media Duta Online,- Pemeriksaan 3 hakim konstitusi oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Selasa (31/10/2023), diliputi suasana tak mengenakkan. 

"Intinya, banyak sekali masalah yang kami temukan. Jadi dari tiga hakim ini saja muntahan masalahnya ternyata banyak sekali," ujar Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, Selasa (31/10/2023) malam. 

Jimly berujar, dalam pemeriksaan yang memang secara aturan harus digelar tertutup, pihaknya sengaja memberi ruang kepada para hakim konstitusi untuk bebas bercerita. 

Ia menyampaikan, tak sedikit dari cerita-cerita itu yang memang menyedihkan. Baca juga: MKMK Minta Diyakinkan Bisa Koreksi Putusan MK soal Usia Capres-cawapres "Yang nangis justru malah kami," ucapnya.

  Senada, hakim konstitusi Enny Nurbaningsih juga melontarkan pengakuan yang sama selepas diperiksa sejam lebih pada Selasa malam. 

"Sudah habis kami nangisnya tadi," kata Enny yang menjadi hakim ketiga yang diperiksa kemarin.

 Sebelumnya, hakim kedua yang diperiksa, Arief Hidayat, juga tampak berwajah sendu. Ketika ditanya wartawan apakah dirinya menangis, ia membantah. 

 Akan tetapi, ia mengakui dirinya sedih dengan citra MK di mata publik yang sampai menjuluki lembaga itu "Mahkamah Keluarga".

 Julukan itu diberikan sejak persidangan atas perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimum capres-cawapres bergulir.

 Belakangan, MK mengabulkan sebagian gugatan tersebut. Namun, sejumlah pihak menilai, putusan itu membuka jalan putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, untuk mencalonkan diri sebagai bakal calon wakil presiden (bacawapres).

 “Kalaupun ada yang menganggap gitu, saya sedih sekali. Pengalaman saya sebagai hakim Mahkamah Konstitusi sudah 12 tahun.

 Kalau ada komentar begitu, saya sedih. Ngeri lah kalau bagi saya,” ujar Arief, yang sejak awal berseberangan dengan putusan kontroversial itu dan mengungkap kejanggalan-kejanggalan di baliknya. 

 Majelis Kehormatan Akui Terima Banyak Cerita Sedih Sementara itu, Ketua MK Anwar Usman sebagai hakim konstitusi pertama yang diperiksa, sekaligus yang terbanyak dilaporkan, tak menampakkan raut wajah sedih.

 Ia justru menegaskan bahwa dirinya memang merasa tidak perlu mundur dalam mengadili perkara tersebut, walau pemohon dengan eksplisit menjadikan keponakannya, Gibran, sebagai alasan menggugat batas usia minimum capres-cawapres. 

"Pemohonnya itu siapa? Kan gitu," ucap Anwar. "Yang menentukan jabatan milik Allah Yang Maha Kuasa," tuturnya. 

 Perdebatan publik mengenai relevansi MKMK bermuara pada satu topik: 

apakah lembaga penegak etik itu dapat membatalkan putusan MK, seandainya terbukti ada pelanggaran etik dan konflik kepentingan dalam penyusunannya?

 Jimly mengakui, itu lah problem yang harus dijawab MKMK. 

Namun, membatalkan putusan MK melalui sebuah putusan etik dinilai sebagai langkah yang dilematis dan, bisa dibilang, sangat berani.

 "Prinsipnya ini adalah lembaga penegak etik. Kita tidak menilai putusan MK. Tapi kalau Anda ini bisa meyakinkan kami bertiga, dengan pendapat yang rasional, logis, dan masuk akal, bisa diterima akal sehat, why not?" ungkap Jimly. 

 Tadi sudah dibuktikan, tapi kami belum rapat. Saya enggak tahu dari kami bertiga ini berapa orang yang sudah yakin, saya kok belum terlalu yakin," lanjutnya.

 Pembuktian yang dimaksud Jimly ada pada penjelasan salah satu pelapor, Denny Indrayana, yang juga mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM.

 Dalam bayangan Denny, putusan etik MKMK mungkin tidak dapat langsung membatalkan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimum capres-cawapres yang kontroversial itu.

 Namun, putusan etik MKMK diharapkan bisa menjadi dasar untuk sidang pemeriksaan ulang perkara nomor 90 itu, dengan asumsi Anwar Usman yang merupakan ipar Presiden Joko Widodo itu dinyatakan terbukti melanggar etik.

 Lihat Foto Pemeriksaan ulang perkara nomor 90 itu harus dengan formasi hakim yang baru, otomatis tanpa Anwar Usman karena terlibat pelanggaran etik.

 Pemeriksaan ulang ini sebagai bentuk koreksi karena proses perumusan putusan sebelumnya terdapat pelanggaran etik.

 Simulasi ini persis sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 ayat (5) sampai (7) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 

Namun, ada dua masalahnya. Pertama, timbul perdebatan apakah aturan di dalam UU Kekuasaan Kehakiman itu hanya meliputi peradilan di lingkungan Mahkamah Agung atau juga mencakup MK, walau Denny meyakini yang kedua.

 Jimly menegaskan, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan dengan jelas bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga seharusnya tertutup ruang untuk koreksi atas putusan MK. 

Pendiri MK itu menantang para pelapor untuk bisa meyakinkan ia, Bintan, dan Adams, bahwa dalam kasus ini, UU Kekuasaan Kehakiman bisa mengesampingkan UUD 1945. "Nah, bagaimana itu? 

Nah, bagaimana (pelapor) meyakinkan kami bahwa undang-undang dasar itu bisa kita langgar.

 Kan yang mengatur ini Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, lebih rendah dari Undang-undang Dasar," kata dia. 

Pimpinan Komisi II: Harus Tunduk Putusan MK, KPU Kebablasan "Silakan besok itu akan ada lagi ahli-ahli lain berusaha meyakinkan. 

Bisa saja kita berubah, karena negara sedang berkembang seperti kita ini memerlukan keputusan-keputusan yang progresif, jangan kaku memahami hukum dan konstitusi," jelas Jimly. 

Dalam kesempatan yang sama, senator DKI Jakarta itu pun menegaskan bahwa hubungan kekerabatan Anwar dengan keluarga Jokowi tak perlu dibuktikan lagi. 

"Itu yang sedang kita nilai. Kalau soal hubungan kekerabatan enggak perlu bukti, semua orang sudah tahu," kata Jimly. 

Laju Gibran bisa terganjal? Meskipun belum ada garansi bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 bisa dibatalkan, namun tak ada jaminan pula bahwa Putusan 90 itu tidak bakal diganggu-gugat. 

MKMK justru memberi indikasi bahwa putusan etik mereka bisa memengaruhi konstelasi pencalonan presiden-wakil presiden yang tengah bergulir di KPU RI.

 MKMK memastikan, pemeriksaan para terlapor, hakim, serta panitera beres di pekan ini dan mereka akan membacakan putusan paling lambat 7 November 2023, sehari sebelum tenggat pengusulan bakal pasangan capres-cawapres pengganti ke KPU RI. 

Sebagai informasi, tahapan pengusulan bakal pasangan capres-cawapres ke KPU RI ini disediakan sebagai antisipasi bahwa bakal pasangan capres-cawapres yang sebelumnya didaftarkan tidak memenuhi syarat. 

"Harapannya tidak lain supaya kepercayaan publik bisa kembali, keputusan kami nanti diharapkan jadi solusi kalau bisa. 

Yang penting masyarakat tahu kita sudah berusaha secepat mungkin menyelesaikan masalah ini untuk menjamin kepastian, supaya persiapan pilpres, persiapan pemilu, jangan lagi dihantui oleh ketidakpastian," jelas Jimly.

 "Kita percepat tanggal 7 karena ada permintaan dari pelapor supaya sebelum tanggal 8 sudah diputus. Karena tanggal 8 itu hari terakhir mengenai kemungkinan perubahan pasangan," ujarnya. 

 Dalam pemeriksaan Enny, MKMK juga mendalami mengapa pendapat Enny dan hakim konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh diklasifikasikan sebagai alasan berbeda (concurring opinion) alih-alih dissenting opinion.

 Padahal, jika diklasifikasikan sebagai dissenting opinion, maka hakim konstitusi Anwar Usman, Guntur Hamzah, dan Manahan Sitompul (yang setuju kepala daerah dan anggota legislatif di setiap tingkatan bisa maju pilpres di bawah 40 tahun) otomatis kalah suara untuk mengabulkan perkara nomor 90 itu. 

Kalaupun dianggap sebagai concurring opinion, maka seharusnya putusan MK menyepakati hanya kepala daerah tingkat provinsi/gubernur saja yang bisa mencalonkan diri sebagai capres-cawapres meski belum berusia 40 tahun. 

Namun demikian, di Senayan, KPU RI, pemerintah, dan DPR RI baru saja bersepakat pada malam yang sama, untuk merevisi Pasal 13 Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Pilpres.

 Revisi itu ditempuh agar syarat usia minimum capres-cawapres sesuai dengan bunyi Putusan 90, tanpa memedulikan kemungkinan putusan itu dibatalkan atau dikoreksi oleh putusan etik MKMK.


Posting Komentar untuk "Ada Tangis Dalam Pemeriksaan Pelanggaran Etik Hakim MK"