Jakarta Media Duta Online, - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan hanya pengadilan negeri (PN) yang bisa melakukan penegakan UU Fidusia berupa penarikan kendaraan yang kreditnya macet apabila terjadi wanprestasi pembayaran, Kamis 24 Februari 2022.
Namun, apabila ada unsur pidana, polisi bisa dimintai bantuan.
"Bahwa berkaitan dengan eksekusi jaminan objek fidusia, penting ditegaskan oleh Mahkamah, perjanjian fidusia adalah hubungan hukum yang bersifat keperdataan (privat).
Oleh karena itu, kewenangan aparat kepolisian hanya terbatas mengamankan jalannya eksekusi bila diperlukan, bukan sebagai bagian dari pihak eksekutor.
Kecuali ada tindakan yang mengandung unsur-unsur pidana, maka aparat kepolisian baru mempunyai kewenangan untuk penegakan hukum pidananya," kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam sidang terbuka yang disiarkan channel YouTube MK, Kamis (23/2/2022).
Putusan yang dibacakan ini menegaskan lagi atas putusan MK Nomor 2/PUU- XIX/2021.
MK juga menyatakan pihak kreditur tidak dapat melakukan eksekusi sendiri secara paksa.
Misalnya dengan meminta bantuan aparat kepolisian apabila mengenai cedera janji (wanprestasi) oleh pemberi hak fidusia (debitur) terhadap kreditur yang masih belum diakui oleh debitur dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia.
"Dalam hal ini, Mahkamah telah menegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 bahwa kreditur harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri," ujarnya.
Berkaitan dengan eksekusi jaminan objek fidusia, penting ditegaskan oleh Mahkamah, perjanjian fidusia adalah hubungan hukum yang bersifat keperdataan (privat).
Oleh karena itu, kewenangan aparat kepolisian hanya terbatas mengamankan jalannya eksekusi bila diperlukan.
Bukan sebagai bagian dari pihak eksekutor, kecuali ada tindakan yang mengandung unsur- unsur pidana.
MAKA aparat kepolisian baru mempunyai kewenangan untuk penegakan hukum pidananya.
"Oleh karena itu, berkenaan dengan frasa 'pihak yang berwenang' dalam Penjelasan Pasal 30 UU 42/1999 adalah dimaknai 'pengadilan negeri' sebagai pihak yang dimintai bantuan untuk melaksanakan eksekusi tersebut," beber MK.
Kasus bermula saat pasangan suami-istri dari Jakarta Utara (Jakut), Johanes Halim dan Syilfani Lovatta Halim, dipolisikan oleh leasing.
Karena keberatan terhadap tagihan leasing atas kredit mobil Toyota Voxy hingga ditahan.
Padahal, sesuai dengan putusan MK, kasus ini seharusnya diselesaikan lewat jalur perdata.
"Ini ada nasabah yang menggugat UU Fidusia dan KUHP di Mahkamah Konstitusi karena leasing mau menarik secara sepihak objek jaminan fidusia berupa mobil Voxy.
Sedangkan belum ada kesepakatan cedera janji antara debitur dan kreditur.
Padahal pada putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 menyatakan selama belum ada kesepakatan tentang adanya cedera janji antara debitur dan kreditur, tidak boleh dilakukan penarikan secara sepihak," kata kuasa hukum Johanes-Syilfani, Eliadi Hulu.
Akhirnya MK memutuskan hanya pengadilan negeri (PN) yang bisa melakukan penegakan UU Fidusia berupa penarikan kendaraan yang kreditnya macet.
Apabila terjadi wanprestasi pembayaran tanpa iktikad buruk. Hal itu diputuskan MK dalam menafsirkan Penjelasan Pasal 30 UU Fidusia yang berbunyi:
Dalam hal Pemberi Fidusia tidak menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan.
Penerima Fidusia berhak mengambil Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.
"Pihak yang berwenang sepanjang dimaknai pengadilan negeri," kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam sidang terbuka yang disiarkan channel YouTube MK, Kamis (23/2/2022). (asp/knv)
Posting Komentar untuk "MK Memutuskan Hanya PN Yang Bisa Melakukan Penarikan Kendaraan Kredit Macet"