DPR RI Pertanyakan Dua DPO, Penggelapan Rp2 Triliun Harta Alhi Waris


Jakarta Media Duta Online, –Komisi III DPR-RI mempertanyakan kinerja pihak kepolisian dalam “memburu” dua tersangka kasus penggelapan harta warisan senilai Rp2 Triliun lebih. 
Padahal keduanya sudah masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak enam tahun lalu, namun masih bebas berkeliaran sampai sekarang.

Pertanyaan tersebut disampaikan Supriansya, anggota Komisi III DPR-RI dari Fraksi Partai Golongan Karya (F-PG) dalam rapat kerja dengan Kapolri Jenderal Polisi, Listyo Sigit Prabowo di Jakarta, Senin (24/1).

“Herwansyah dan Emilya Said, pasangan suami istri, masuk DPO terhitung sejak 3 Mei 2016, tapi pada Juni 2021, terdeteksi menandatangani kontrak mewakili PT Aria Citra Mulia dengan Pertamina di Dumai, Provinsi Riau,” ungkap legislator dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan II ini.

“Kedua orang DPO ini juga diketahui tinggal berpindah-pindah pada tiga tempat yang berbeda di Jakarta,” imbuhnya.

Supriansya lantas mempertanyakan kepada Kapolri, bagaimana bisa orang yang sudah masuk DPO dari Badan Reserse dan Kriminal Polisi Republik Indonesia (Bareskrim Polri) sejak enam tahun lalu, tapi bebas melakukan aktifitas, tanpa ada proses penegakan hukum.

Dihadapan Kapolri, Supriansya juga memperlihatkan kliping Harian Suara Pemred Pontianak edisi Senin, 6 Desember 2021 yang memuat pemberitaan bahwa pelaku penggelapan harta warisan Rp2 Triliun yang sudah masuk DPO, sampai sekarang bebas berkeliaran.

“Perbuatan Herwansyah dan Emilya Said telah merugikan tiga orang saudaranya yang lain. Karena dua orang ini, tanpa hak, mencairkan dana tabungan masing-masing Rp100 Miliar atas nama tiga orang saudaranya yang lain.

Sehingga jumlahnya Rp300 Miliar. Tolong ini diperhatikan betul-betul,” kata Supriansya.

Mendapat pernyataan tidak diduga, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, tampak grogi dan langsung memerintahkan Kepala Bareskrim Polri, Komisaris Jenderal Polisi Agus Adrianto untuk menindaklanjuti.

“Saya perintahkan Kepala Bareskrim Polri untuk segera dicek, dan hasilnya langsung lapor saya,” tegas Kapolri.

Seperti diketahui, harta warisan yang diperebutkan adalah milik almarhum Said Kapi yang berasal dari Kampung Tambelan, Pontianak Timur, Provinsi Kalimantan Barat.

“Sebenarnya almarhum Said Kapi asli berasal dari Kampung Tambelan, Pontianak Timur. Beberapa keluarga dan kerabatnya masih tinggal di sana. 

Gedung Futsal di bawah Tol Kapuas itu sempat dibeli beliau dari Syarif Mahmud. Orang Tambelan semua tahu dengan beliau, dan memang benar selain kaya raya, beliau banyak istri,” kata Muslihin, warga Tambelan kepada Suara Pemred, belum lama ini.

Hal ini juga dibenarkan oleh pengusaha minyak dan gas, Roy Asrianto di Jakarta. Kepada Suara Pemred, dia menyebutkan bahwa almarhum merupakan pengusaha sukses bidang perminyakan.

“Sangat mudah mencari jejak perusahaan yang bermitra dengan PT Pertamina mungkin sukses sejak tahun 70-an. 

Jika mencari data dan alamat PT. Aria Citra Mulia, datanya di Google sangat mudah, dan hingga kini masih beroperasi. Jadi sangat aneh jika sulit dicari,” katanya.

Salah satu ahli waris yang minta namanya tak disebutkan berharap pihak kepolisian memberikan keadilan kepada ahli waris yang sah untuk mendapatkan haknya.

Apalagi dengan disorotinya kasus ini dalam rapat Komisi III DPR RI dengan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, dia berharap Herwansyah dan Emilya Said segera ditangkap untuk dimintai pertanggungjawabannya.

“Kedua orang itu sudah merampas dan menggelapkan hak-hak kami dengan melakukan pengalihan aset dan dana, dan semua itu sudah terbukti bersalah, makanya sudah ditetapkan tersangka dan masuk dalam daftar DPO. 

Namun kenapa hingga saat ini seperti dilindungi dan dibiarkan. Kami berharap Bapak Kapolri bisa menangkap orang-orang itu, karena telah membuat hidup kami menderita,” katanya.

Sementara itu, praktisi hukum di Pontianak, Moerjani Aban SH, juga mendesak Bareskrim Polri segera menangkap pasangan suami istri, Emylia Said dan Herwansyah yang diduga melakukan perampasan harta waris milik H.M Said Kapi.

Herwansyah dan Emilya Said diketahui masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) tanggal 3 Mei 2016 dan ditandatangani Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Rian R Djayadi. 

Keduanya diduga menggelapkan dana PT Ari Citra Mulia (ACM) dan tabungan sebanyak Rp2 Triliun lebih.

Menurutnya, ini dampak keserakahan dalam keluarga, tapi sangat merugikan anggota keluarga yang lainnya. 

Jadi Herwansyah dan Emilya Said, mesti segera ditangkap. PT ACM milik H.M. Said Kapi, warga Pontianak dan harta peninggalannya direbut secara tidak sah oleh Herwansyah dan Emilya Said.

 Herwansyah merupakan mantan karyawan kepercayaan dan mempersunting Emilya Said, sebagai istrinya.

Emlya Said, lahir dari istri kedua, H.M. Said. Tapi H.M. Said Kapi bercerai didasarkan putusan pengadilan dengan ibu dari Emilya Said, sebelum warga Pontianak itu meninggal dunia.

Tindak kejahatan keduanya terhadap orang tua kandung berdasarkan Laporan Polisi Nomor LP/B/120/II/2016/Bareskrim, tanggal 13 September 2016, sebagai berikut.

Pelapor, bernama Dewi Ariati. Terlapor, pasangan suami istri yakni Emylia Saiddan Herwansyah. Pelapor adalah janda dari H.M. Said Kapi. 

Dewi Ariati merupakan wali ibu dari anak-anak yang lahir dari perkawinan dengan H.M. Said Kapi yang sah yakni Aisyah, Annisa dan Ananda Abdullah.

Terlapor Emilya Said adalah anak dari istri kedua H.M.Said Kapi yang telah putus karena perceraian pada tanggal 20 Februari 1988. Perceraian berdasarkan Kutipan Buku Pendaftaran Cerai No.01/02/X/1988, sedangkan Herwansyah adalah suami dari Emylia Said.

Laporan Polisi No.LP/B/120/II/2016/Bareskrim, tanggal 13 September 2016, pada tahun 2017 pernah diajukan pra peradilan oleh Emilya Saiddan Herwansyah karena saksi notaris saat diperiksa sebagai saksi belum dilengkapi dengan izin dari Dewan Kehormatan Notaris, yang kemudian pada tahun 2018 oleh Bareskrim perkaranya dibuka kembali dengan menerbitkan Sprindik baru.

Terlapor yakni Emilya Said pernah mengajukan gugatan pembatalan pernikahan H.M. Said Kapi dengan Dewi Ariati. Namun berdasarkan putusan pengadilan (sampai PK), pernikahan H.M.Said dengan Dewi Ariati dinyatakan sah.

Perbuatan terlapor (Emilya Said) yang mengajukan gugatan ke pengadilan untuk membatalkan perkawinan orangtuanya (H.M. Said Kapi) dengan pelapor yang dilakukan setelah H.M Said meninggal dunia. Sedangkan perkawinan antara ibu terlapor dengan H.M.Said, telah lama putus karena perceraian.

Perbuatan yang dilakukan ini semata-mata didasarkan keinginan Emilya Said dan Herwansyah untuk dapat menguasai harta warisan dari H.M.Said Kapi, dengan menghilangkan hak anak-anak pemohon yang telah diberikan oleh almarhum H.M. Said Kapi semasa hidup.

Kalau benar ada informasi, Herwansyah dan Emilya Said masih bebas mengendalikan perusahaan sebagai mitra kerja Pertamina, terutama di wilayah Dumai, itu artinya memang sengaja dibiarkan. Kalau dibiarkan berlarut-larut bisa rusak citra institusi Polri,” kata Moerdjani Aban.

Gunakan Surat Palsu

Herwansyah dan Emilya Said diduga menggunakan surat palsu/dipalsukan. Bertindak mewakili anak-anak pelapor dan mencairkan uang di Bank DBS Singapore yang merupakan pemberian dan dialokasikan almarhum H.M. Said Kapi semasa hidup sebesar US$13,667,272.80 dan SG$7.231.418.

Terlapor dengan memalsukan atau menggunakan surat palsu-surat palsu, menggelapkan, menyembunyikan atau menguasai secara melawan hukum atas hak pelapor berupa harta milik pribadi pemohon dan harta persekutuan perkawinan pelapor dengan H.M.Said Kapi dan harta peninggalan H.M Said Kapi.

Harta tersebut merupakan aset pribadi maupun aset perusahaan milik almarhum H.M. Said Kapi yang semestinya menjadi bagian para ahli waris, yang nilainya diperkirakan lebih dari Rp2 triliun lebih. Data ini diperoleh dari seseorang bernama Wakil tahun 2014.

Modus Kejahatan Herwansyah dan Emilya Said

Dewi Ariati, janda tiga anak harus bersedih karena menunggu kejelasan laporan yang dibuatnya di Bareskrim Polri hampir enam tahun lalu tanpa ada kejelasan.

 Laporan polisi Nomor LP/B/120/II/2016/Bareskrim, tanggal 13 November 2016 dengan terlapor Herwansyah dan Emilya Said.

Dewi adalah janda tiga anak dari pernikahan sah dengan Almarhum H.M Said Kapi pendiri PT Aria Citra Mandiri (ACM), sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkapalan dan sudah bermitra dengan Pertamina.

Emiya Said adalah anak dari almarhum H.M Said Kapi yang bersuamikan Herwansyah, yang dulunya Herwansyah adalah pegawai PT ACM, yang kemudian berkat kepiawaiannya berhasil mempersunting Emilya, anak bos PT ACM almarhum H.M Said Kapi.

Sebelum meninggalnya H.M Said Kapi sempat dibuat akte kepemilikan saham PT ACM yang berisikan kepemilikan saham tiga anak Dewi masing-masing 20 persen, Herwansyah 20 persen dan Emilya 20 persen.

Setelah meninggalnya Almarhum HM Said PT ACM langsung diambil alih oleh kedua tersangka Emilya dan Herwansyah, tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan secara semena-mena.

Modusnya mengambil beberapa aset hak berupa uang dan bangunan yang harusnya menjadi milik Dewi. Sedihnya lagi, Dewi Ariati dan ketiga anaknya hanya diberi kontrakan kecil di Yogyakarta serta uang bulanan untuk menghidupi anaknya yang sudah beranjak dewasa.

Penyidik Bareskrim Subdit II Dit Tipidum, selama hampir enam tahun baru sampai pada penetapan tersangka dan menetapkan Emilya dan Herwansyah sebagai Daftar Pencarian orang (DPO).

Hasil penyelidikan mendaptakan informasi dari Imigrasi bahwa sejak 28 April 2021, para tersangka sudah meninggalkan Indonesia menuju Singapura. Dilaporkan sampai sekarang belum kembali.

Tetapi diperoleh informasi dari keluarga tersangka, bahwa Herwansyah, sebelumnya diketahui menandatangani perpanjangan kontrak kerja sama dengan Pertamina di Dumai.

Jika benar Herwansyah menandatangani kontrak kerja sama dengan Pertamina di Dumai dan tidak diketahui pihak imigrasi, kemungkinan besar tersangka Herwansyah manipulasi dokumen keimigrasinya, sehingga bisa lolos keluar masuk Indonesia tanpa diketahui pihak Imgrasi Indonesia.

Oleh karena itu, tentunya Dewi Ariati berharap kepada Bareskrim Polri dapat segera memproses laporannya yang sudah hampir enam tahun ini guna mendapatkan kepastian hukum.

Apalagi diduga tersangka juga melakukan manipulasi dokumen Imigrasi, sehingga bisa ada di Indonesia tanpa diketahui pihak otoritas berwenang.

Dewi Ariati berharap, Bareskrim Polri dapat segera memproses laporannya yang sudah hampir enam tahun tersebut agar bisa mendapatkan kejelasan tentang hak-haknya yang sudah diambil paksa oleh para tersangka yakni Herwansyah dan Emiya Said.

Praktisi hukum di Pontianak, Herman Hofi Munawar mengingatkan Bareskrim Polri, untuk konsisten di dalam menetapkan seseorang yang sudah masuk DPO.

Dikatakan Herman Hofi, PT ACM, merupakan perusahaan legal, dan sampai sekarang cukup eksis sebagai rekanan PT Pertamina di Indonesia.

“Pertanyaan kemudian, dalam sirkulasi distribusi aset-aset perusahaan, hanya bisa dilakukan oleh pemilik yang sah. Itu artinya, Herwansyah dan Emilya Said, masuk DPO, hanya basa-basi Polisi,” ujar Herman Hofi Munawar.

DPO Bukan Alat Tawar Menawar

Proses penyidikan perkara LP No.LP/B/120/II/2016/Bareskrim sangat lambat dan kurang maksimal. Hal ini tercermin dari Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) Nomor B/813/VIII/2020/Dittipidum, tanggal 18 Agustus 2020, antara lain menyebutkan terhadap Emilya Saiddan Herwansyah telah dua kali dilakukan pemanggilan sebagai saksi (terlapor).

Masing-masing tanggal 24 Oktober 2019 dan tanggal 18 November 2019, di mana yang bersangkutan tidak memenuhi penggilan penyidik. Kemudian tanggal 11 Desember 2019 telah diterbitkan surat perintah membawa, namun telah hampir delapan bulan, penyidik belum dapat membawa/memeriksa Emilya Saiddan Herwansyah.

Penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap Notaris R.M Soediarto Soenarto, namun pernyataan keputusan Sirkuler para pemegang saham, PT Ari Citra Mulia tanggal 16 Oktober 2013 tidak ada pada notaris.

 Hanya diperlihatkan aslinya dan menyerahkan salinan, sedangkan aslinya ada pada Herwansyah.

Dalam proses penyidikan telah ditemukan bukti-bukti yang kuat terhadap laporan pemohon, dimana dalam proses penyidikan telah ditemukan bukti mengenai dugaan pemalsuan.

Penggunaan surat berupa Surat Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Sirkuler para pemegang saham.

Hal ini berdasarkan Hasil Pemeriksaan Laboratorium Forensikvide Berita Acara Pemeriksaan Laboratorium Kriminalistik Nomor Lab: 2244/DTF/2016, tanggal 14 Juli 2016. Di situ tandatangan H.M. Said Kapi diduga palsu (non identik).

Dokumen tersebut dipergunakan oleh terlapor mengalihkan atau menggelapkan saham milik anak-anak pelapor yang masih di bawah umur yang ada pada PT Aria Citra Mulia. Masing-masing 200 lembar saham (atau sebesar 60 persen) Saham PT Aria Citra Mulia yang dialokasikan dan diberikan almarhum H M. Said semasa hidup. Pengalihan saham tersebut, tanpa persetujuan dari pelapor selaku wali ibu dari anak-anak pelapor yang masih di bawah umur.

Terlapor juga diduga telah memalsukan atau menggunakan surat palsu berupa Kartu Keluarga No.321329260913001 tanggal diterbitkan 7 Oktober 2013 atas nama Kepala Keluarga H.M.Said Kapi.

Sedangkan H.M. Said Kapi maupun Dewi Ariati, tidak pernah mengajukan Kartu Keluarga di Kabupaten Subang. Kartu Keluarga H.M. Said Kapi masih tercatat di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur.

Kartu Keluarga (KK) Nomor 321329260913001 tanggal 18 Oktober 2013 atas nama Kepala Keluarga H.Moch Ammad Said Abdul Rahman Kapi dengan indikasi pemalsuan.

 Kartu Keluarga diterbitkan setelah H.M. Said Kapi meninggal dunia, menghilangkan nama pelapor (Dewi Ariati) selaku istri yang sah. Status perkawinan H.M. Said Kapi tertulis cerai hidup. 

Sedangkan pelapor selaku istri yang sah dan tidak pernah bercerai dengan H.M. Said Kapi.

Pelapor Dewi Ariati tidak pernah mengajukan permohonan Kartu Keluarga di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Subang dan Kartu Keluarga H.M.Said yang benar masih tercatat pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Samarinda.

Dewi Ariati selaku pelapor, telah tujuh tahun mengalami penderitaan karena dizholimi para terlapor, maka untuk keadilan.

 Seharusnya penyidik dapat memaksimalkan dan menuntaskan proses penyidikan perkara NomorLP/B/120/II/2016/Bareskrim, tanggal 13 September 2016 tersebut.

Polisi dan jaksa diingatkan untuk konsisten dalam menetapkan seorang menjadi DPO dengan teknis pencarian yang terintegratif.

“Orang yang sudah masuk DPO jangan sampai sebagai kamulflase untuk berbagai kepentingan pragmatis dan alat tawar-menawar kasus.Kalau sampai terjadi akan merusak reputasi institusi penegak hukum,” kata Herman Hofi Munawar. (hd/aju)

Posting Komentar untuk "DPR RI Pertanyakan Dua DPO, Penggelapan Rp2 Triliun Harta Alhi Waris "