Pemohon Prinsipal Din Syamsuddin saat menyimak pengucapan putusan Pengujian UU Organisasi Masyarakat, Selasa (23/12) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto Humas/Ganie.
Organisasi Masyarakat (Ormas) yang tidak berbadan hukum dan ingin mendaftarkan diri kini dapat melakukan pendaftaran Ormasnya di tempat kedudukan Ormas yang bersangkutan tanpa perlu adanya surat keterangan terdaftar baik dari bupati/walikota, gubernur maupun menteri.
Putusan dengan Nomor 82/PUU-XI/2013 tersebut dibacakan oleh Ketua MK Hamdan Zoelva di Ruang Sidang Pleno MK.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Pasal 5 UU ormas bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa tujuan dimaksud bersifat kumulatif dan/atau alternatif.
Pasal 8, Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 34, Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 59 ayat (1) huruf a UU Ormas bertentangan dengan UUD 1945,” ucap Hamdan membacakan permohonan yang diajukan oleh PP Muhammadiyah.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan Wakil Ketua Arief Hidayat, selain Pasal 16 ayat (3), MK juga menyatakan Pasal 17, Pasal 18 UU Ormas tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena ketentuan mengenai pendaftaran Ormas yang dikaitkan dengan lingkup suatu Ormas harus dinyatakan inkonstitusioal pula.
Ormas yang menghendaki untuk mendaftarkan suatu Ormas yang tidak berbadan hukum, dapat saja melakukan pendaftaran Ormasnya di tempat kedudukan Ormas yang bersangkutan tanpa memerlukan surat keterangan terdaftar baik dari bupati/walikota, gubernur maupun menteri. “
Adapun tata cara pendaftaran Ormas tersebut dapat diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang a quo,” urai Arief.
Sementara terkait tujuan ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 UU ormas, MK menilai Ormas harus diberikan kebebasan untuk menentukan tujuannya masing-masing sepanjang tidak bertentangan dengan dasar negara dan UUD 1945, tanpa memaksakan untuk merumuskan tujuan secara kumulatif sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5 UU Ormas.
Maka, lanjut Arief, agar tujuan yang termuat dalam Pasal 5 UU 17/2013 tersebut tidak melanggar hak kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945 maka kata “dan” yang terdapat pada Pasal 5 huruf g UU 17/2013 harus ditambah dengan kata “/atau” agar tujuan tersebut dapat bersifat alternatif.
“Dengan demikian, menurut Mahkamah, selain hak kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945 tidak terlanggar, tujuan yang termuat dalam Pasal 5 UU 17/2013 juga dapat dipenuhi oleh Ormas.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Pasal 5 huruf g UU 17/2013 menjadi sebagaimana disebutkan dalam amar putusan ini,” jelas Arief.
Lingkup Ormas Inkonstitusional
Sedangkan terkait pengujian konstitusionalitas pembedaan Ormas yang lingkup nasional, provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 UU Ormas, Mahkamah menilai pembedaan lingkup Ormas tersebut dapat mengekang prinsip kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh konstitusi. Menurut Mahkamah, yang menjadi prinsip pokok bagi Ormas yang tidak berbadan hukum, dapat mendaftarkan diri kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab untuk itu dan dapat pula tidak mendaftarkan diri.
Ketika suatu Ormas yang tidak berbadan hukum, telah mendaftarkan diri haruslah diakui keberadaannya sebagai Ormas yang dapat melakukan kegiatan organisasi dalam lingkup daerah maupun nasional.
Suatu Ormas dapat mendaftarkan diri di setiap tingkat instansi pemerintah yang berwenang untuk itu.
Sebaliknya berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapat pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil permohonan Pemohon mengenai Pasal 8, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 UU 17/2013 beralasan menurut hukum,” ujarnya.
Ancam Kreativitas
Sedangkan terkait posisi Pemerintah dalam melakukan pemberdayaan terhadap Ormas, MK yang diwakili oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim menjelaskan kemajuan dan kemunduran suatu Ormas adalah urusan internal yang menjadi kebebasan dan tanggung jawab Ormas yang bersangkutan.
Apabila pada akhirnya Ormas tidak mampu meneruskan keberlangsungan organisasinya, maka hal demikian merupakan hal yang alamiah dan wajar.
Walaupun demikian, lanjut Alim, tidak berarti bahwa negara tidak boleh memberi bantuan kepada Ormas baik berupa dana maupun dukungan lain untuk memajukan suatu Ormas.
Pemberian bantuan yang demikian wajar saja, sepanjang Ormas yang bersangkutan memerlukannya dan secara sukarela menerimanya.
Alim menambahkan lain halnya jika kegiatan dan aktivitas Ormas terbukti mengancam keamanan dan ketertiban umum, mengganggu hak kebebasan orang lain, serta melanggar nilai-nilai moral dan nilai-nilai agama, negara berkewajiban dalam fungsinya menjamin ketertiban umum dapat melakukan penegakan hukum, bahkan dapat menghentikan kegiatan suatu Ormas.
“Menurut Mahkamah, campur tangan negara dalam pemberdayaan Ormas akan mengancam kreativitas masyarakat dalam mengekspresikan hak kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945.
Sehingga dalil Pemohon mengenai Pasal 40 Undang-Undang a quo beralasan menurut hukum,” tambahnya.
Sedangkan Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35, Pasal 36, serta Pasal 38 UU Ormas yang diajukan oleh Pemohon, MK menyatakan bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil tersebut, lanjut Alim, Mahkamah tidak menemukan alasan yang diajukan Pemohon tentang adanya pertentangan antara norma dalam pasal-pasal a quo dengan UUD 1945, karena Pemohon hanya secara umum dan tidak menguraikan secara spesifik alasan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo kabur atau tidak jelas. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon beralasan hukum untuk sebagian,” tandas Alim. (Lulu Anjarsari)
MK Kurangi Peran Negara Terhadap Ormas
Selaku pemohon, Muhammadiyah menyambut baik putusan ini karena 80 persen permohonannya dikabulkan.
ASH
Pemohon Prinsipal Din Syamsuddin saat menyimak pengucapan putusan pengujian UU Organisasi Masyarakat, Selasa (23/12) di Ruang Sidang MK. Foto: Humas MK
Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang diajukan Pengurus Pusat Muhammadiyah.
Dari total 21 pasal yang dimohonkan, MK membatalkan 10 pasal yakni Pasal 8, Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 34, Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 59 ayat (1) huruf a.
Dengan begitu, peran negara yang membatasi atau mempersulit ruang gerak ormas menjadi berkurang.
“Pasal 8, Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 34, Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 59 ayat (1) huruf a UU Ormas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua Majelis MK, Hamdan Zoelva saat membacakan bernomor 82/PUU-XI/2013 di ruang sidang pleno MK, Selasa (23/12).
Mahkamah beralasan Pasal 8, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25 UU Ormas yang membedakan ruang lingkup ormas tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota dapat mengekang prinsip kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat yang dijamin konstitusi.
Padahal, tidak ada hak dan kebebasan orang lain yang terganggu oleh keberadaan ormas yang memiliki ketiga lingkup tersebut secara bersamaan. Walaupun Ormas hanya memiliki kepengurusan pada tingkat kabupaten/kota.
“Ketika Ormas melakukan aktivitas yang dibiayai negara di tingkat nasional, provinsi atau kabupaten/kota, hal itu persoalan administrasi yang tidak perlu diatur undang-undang.
Ormas yang menjalankan kegiatan dengan anggaran negara atau pelayanan dalam bentuk pembinaan oleh pemerintah dapat dibatasi dengan peraturan yang lebih rendah sesuai lingkup ormas yang bersangkutan,” ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan hukum.
Prinsipnya, ormas yang tidak berbadan hukum dapat mendaftarkan diri kepada semua tingkat instansi pemerintah yang bertanggung jawab dan dapat pula tidak mendaftarkan diri.
Ketika ormas yang tidak berbadan hukum telah mendaftarkan diri haruslah diakui keberadaannya dalam lingkup daerah maupun nasional.
Sebaliknya jika tidak mendaftarkan diri, negara tidak dapat menetapkan ormas tersebut sebagai Ormas terlarang sepanjang tidak mengganggu keamanan/ketertiban umum, atau pelanggaran hukum.
“Walaupun pemohon tidak menguji Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, tetapi ketiga pasal yang mengatur pendaftaran ormas terkait ruang lingkup Ormas, maka harus dinyatakan inkonstitusioal pula,” lanjutnya.
Terkait Pasal 34 ayat (1) UU Ormas, Mahkamah memandang hak dan kewajiban anggota suatu ormas adalah masalah internal (otonom) masyarakat sesuai karakteristiknya.
Negara tidak dapat mencampuri dan memaksakan suatu ormas mewajibkan anggotanya memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Pengaturan demikian bentuk pembatasan yang melanggar prinsip kebebasan berserikat yang dijamin UUD 1945.
Di bagian pertimbangan Pasal 40 terkait pemberdayaan dan pengembangan ormas oleh pemerintah, Mahkamah berpendapat negara tidak boleh terlalu jauh mencampuri hak dan kebebasan ormas ini. Menurutnya, walaupun tujuan pengaturan tersebut baik dan positif bagi pengembangan ormas, tetapi pemberian peran tersebut bertentangan dengan hakikat Ormas sebagai organisasi masyarakat yang mandiri dan otonom.
“Campur tangan negara dalam pemberdayaan ormas akan mengancam kreativitas masyarakat dalam mengekspresikan hak kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945,” tutur Hakim Konstitusi Muhammad Alim.
Alim menjelaskan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) huruf a UU Ormas terkait larangan penggunaan lambang negara dalam ormas sudah dipertimbangkan dalam Putusan MK No. 4/PUU-X/2012 tertanggal 15 Januari 2013.
Putusan MK itu mencabut larangan penggunaan lambang negara. Artinya, penggunaan lambang negara dibebaskan bagi siapapun atau organisasi apapun.
Khusus Pasal 5 UU Ormas, MK hanya memberi tafsir konstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai tujuan (ormas) dimaksud bersifat kumulatif dan/atau alternatif.
Agar tujuan Pasal 5 tersebut tidak melanggar hak kebebasan berserikat, maka kata “dan” yang terdapat pada Pasal 5 huruf g UU Ormas harus ditambah dengan kata “/atau” agar tujuan tersebut dapat bersifat alternatif.
Sementara dalam perkara putusan bernomor Nomor 3/PUU-XII/2014 yang dimohonkan Koalisi Kebebasan Berserikat, Mahkamah pun memberi tafsir inkonstitusional bersyarat terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Ormas.
Pasal 29 ayat (1) dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai adanya kemungkinan pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak. Artinya, Pasal 29 ayat (1) UU Ormas selengkapnya menjadi “Kepengurusan ormas di setiap tingkatan dipilih secara musyawarah dan mufakat atau dengan suara terbanyak.”
Usai persidangan, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyambut baik putusan ini. “Kami bersyukur dan berterima kasih kepada MK karena sebagian besar permohonan kami dikabulkan karena pasal-pasal yang dihapus merupakan ‘pasal jantung’ atau inti,” kata Din di Gedung MK.
Din sedari awal sudah memperkirakan bahwa sejumlah pasal-pasal itu ditengarai bertentangan UUD 1945. Seperti, eksistensi ormas, tujuan ormas, ruang lingkup ormas, termasuk hak dan kewajiban ormas serta ada gelagat intervensi pemerintah ke dalam Ormas.
“Intinya, kami berhasil karena 80 persen permohonan kami dikabulkan dengan menghapus pasal jantung,” sambung Ketua Bantuan Hukum PP Muhammadiyah, Syaiful Bakhri..
Posting Komentar untuk "Ormas Bebas Didirikan Tanpa Surat Keterangan Terdaftar"